MANIFESTASI IMAN DALAM KECERDASAN
INTELEKTUAL, SPIRITUAL DAN EMOSIONAL
UTS ILMU KALAM
Hana Futari
(1112051100024)
KONSENTRASI JURNALISTIK
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Seorang yang memiliki keimanan akan
bertanggung jawab penuh atas kepercayaan yang dibebankan Tuhan kepadanya.
Manusia mewarisi sifat-sifat Tuhan, dan dengannya manusia memiliki potensi
untuk menjadi al-insanu al kamil (manusia sempurna).
Iman merupakan pondasi dasar yang harus
dimiliki oleh setiap muslim sejati, karena dengan iman, hidup seseorang akan
teratur, terarah dan terntram. Kita semua adalah pemain sandiwara. Main
sandiwara jika dipimpin dengan iman dan takwa akan aman dan terpelihara.
Artinya, manakala iman dan takwa telah menjadi jiwa yang bermain dalam
sandiwara, pasti dunia aman. Kareana orang yang beriman punya tanggung jawab
langsung kepada Allah dan punya kewajiban moril terhadap sesama manusia dan dunia
seisinya.
Allah SWT berfirman:
“mereka itulah orang
orang yang sebenarnya beriman, mereka mendapat pangkat yang tinggi dari
Tuhannya, dan ampunan beserta rezeki yang mulia.
Iman ialah berikrar dengan lidah
dan membenarkan dalam hati bahawa tiada tuhan yang layak di sembah melainkan Allah.
Allah adalah esa dan Nabi Muhammad S.A.W adalah Rasulallah yang diutuskan
kepada umat manusia untuk membawa pesan islam sebagai rahmat kepada sekalian
alam semesta, dan beramal dengan anggota segala tuntutan-tuntutan iman dengan
penuh keikhlasan dan pengharapan untuk mendapatkan keridhaan Allah S.W.T.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apakah
pengertian dari Iman?
2. Apakah
yang dimaksud dengan kecerdasan Intelektual, Emosional dan Spritual?
3. Adakah
hubungan antara keimanan dan kecerdasan IESQ?
C.
Tujuan
dan Manfaat Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah yang
berjudul “Manifestasi Iman dalam Kecerdasan Intelektual, Emosional dan
Spritiual” yaitu untuk mengetahui bagaimanakah perwujudan iman dalam kecerdasan
IESQ dan apa hubungan antara keimanan seseorang dengan kecerdasan IESQ nya.
Sedangkan manfaat dari penulisan makalah
ini agar kita mengetahui apa hubungan keimanan dengan kecerdasan IESQ sehingga
kita lebih berusaha untuk meningkatkan keimanan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Iman
Iman menurut bahasa adalah “percaya”,
yaitu mempercayai akan ke-Esaan Allah dengan segala sifat-sifat Nya yang
sempurna. Agar memantapkan kepercayaan tersebut, perlu iman yang benar dan tauhid
yang benar. Iman tidak hanya sekedar percaya saja, melainkan juga harus
dibuktikan dengan amal perbuatan nyata. Misalnya, kepercayaan kepada Allah
harus diikuti dengan melaksanakan perintahNya dan menjauhi segala laranganNya
dengan dasar kecintaan.
Untuk cinta kepada Allah harus
mengenalNya terlebih dahulu. “Tidak tahu maka tidak kenal, tidak kenal maka
tidak cinta”. Rasulullah bersabda: “permulaan agama itu mengenal Allah”.
Sedangkan menurut istilah, pengertian
iman adalah membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan
dengan tindakan (perbuatan). Dengan demikian, pengertian iman kepada Allah
adalah membenarkan dengan hati bahwa Allah itu benar-benar ada dengan segala
sifat keagungan dan kesempurnaanNya, kemudian pengakuan itu diikrarkan dengan
lisan, serta dibuktikan dengan amal perbuatan secara nyata.
Jadi, seseorang dapat dikatakan sebagai
mukmin (orang yang beriman) sempurna apabila memenuhi ketiga unsur keimanan di
atas. Apabila seseorang mengakui dalam hatinya tentang keberadaan Allah, tetapi
tidak diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan, maka orang
tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mukmin yang sempurna. Sebab, ketiga
unsur keimanan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat
dipisahkan.
Beriman kepada Allah adalah kebutuhan
yang sangat mendasar bagi seseorang. Allah memerintahkan agar ummat manusia
beriman kepada-Nya, sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Wahai orang-orang yang
beriman. Tetaplah beriman kepada Allah dan RasulNya (Muhammad) dan kepada Kitab
(Al Qur’an) yang diturunkan kepada RasulNya, serta kitab yang diturunkan
sebelumnya. Barangsiapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasulNya, dan hari kemudian, maka sungguh orang itu
telah tersesat sangat jauh.” (Q.S. An Nisa : 136)
Ayat di atas memberikan penjelasan
bahwa Bila kita ingkar kepada Allah, maka akan mengalami kesesatan yang nyata.
Orang yang sesat tidak akan merasakan kebahagiaan dalam hidup. Oleh karena itu,
beriman kepada Allah sesungguhnya adalah untuk kebaikan manusia.
B.
Tanda-tanda
Beriman
Berdasarkan
ayat-ayat Al-Qur’an ada beberapa tanda-tanda orang yang beriman itu, di sini
kita simpulkan kepada tujuh macam tanda-tanda sangat cinta kepada Allah SWT:
1. Apabila
disebut nama Allah bergetar hatinya. Ma’rifah/cinta kepada Allah SWT. aqidah
yang kuat dan tauhid yang benar.
2. Apabila
dibacakan ayat-ayat Allah bertambah-tambah imannya.
3. Tawakkal
dalam pengertian berserah diri setelah berdaya upaya secara maksimal.
4. Mendirikan
shalat yang khusyu mengerjakan shalat dengan rohani dan jasmani.
5. Menafkahkan
sebagian harta yang dianugerahkan Allah kepada orang yang berhak menerimanya.
6. Orang
yang benar imannya apabila mendapat nikmat mereka bersyukur kepada Allah.
7. Apabila
mendapat musibah mereka bersabar/tidak keluh kesah, tahan banting.
C.
Kecerdasan
Intelektual
Kecerdasan intelektual (bahasa Inggris:
intelligence quotient, disingkat IQ) adalah istilah umum yang digunakan untuk
menjelaskan sifat pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan
menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan,
menggunakan bahasa, dan belajar. Kecerdasan erat kaitannya dengan kemampuan
kognitif yang dimiliki oleh individu. Kecerdasan dapat diukur dengan
menggunakan alat psikometri yang biasa disebut sebagai tes IQ. Ada juga
pendapat yang menyatakan bahwa IQ merupakan usia mental yang dimiliki manusia
berdasarkan perbandingan usia kronologis. (http://id.wikipedia.org/wiki/Kecerdasan_intelektual
)
Berbicara
mengenai intelegensi biasanya dikaitkan dengan kemampuan untuk pemecahan
masalah, kemampuanuntuk belajar, maupun kemampuan untuk berfikir abstrak.
Pendapat Stern yang dimaksuddengan inteklegensi adalah daya menyesuaikan diri
dengan keadaan baru dengan menggunakanalat-alat berpikir menurut tujuannya.
Kecerdasan ini ditemukan pada sekitar
tahun 1912 oleh William Stern. Digunakan sebagai pengukur kualitas seseorang pada masanya saat
itu, dan ternyata masih juga di Indonesia saat ini. Bahkan untuk masuk ke
militer pada saat itu, IQ lah yang menentukan tingkat keberhasilan dalam
penerimaan masuk ke militer. Kecerdasan ini terletak di otak bagian Cortex
(kulit otak). Kecerdasan ini adalah sebuah kecerdasan yang memberikan kita
kemampuan untuk berhitung, bernalogi,
berimajinasi, dan memiliki daya kreasi serta inovasi. Atau lebih tepatnya
diungkapkan oleh para pakar psikologis dengan ³What I Think. Allah SWT
berfirman dalam QS. Al-Imran [3]: 191
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan
silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal”
Akal
yang berpusat diotak (al-demagh) adalah komponen yang ada dalam diri manusia
yang memiliki kemampuan memperoleh pengetahuan secara nalar. Setelah memperoleh
maupun menyimpan ini berbeda-beda antara satu orang dengan yang lain,
bergantung kepada wadah kognitif yang dimilki seseorang.
Digambarkan
secara sinpel oleh ahli psikologi Seto Mulyadi
bahwa ada manusia yang berwadah kognitif sebesar gelas kecil ada yang
besar gelas besar, ada pula yang sampai
sebesar danau. Semakin besar wadah kognitif, semakin banyak pengetahuan yang
dapat diserap dan disimpan dalam kognitif orang tersebut. Otak manusia tidak
bekerja seperti media audio atau video tape recorder, yang mampu merekam
seluruh informasi secara utuh. Ketika menerima informasi otak tidak langsung
merekam, tapi mempertanyakan lebih dulu, ia akan memproses dan mengolahnya.
Untuk memperoleh dan mengolah informasi secara efektif, otak perlumelaksanakan
refleksi baik secara internal maupun secara eksternal.
Cara
berfikir otak kanan dan otak kiri masing-masing belahan bertanggung jawab
terhadap cara berfikir dan mempunyai
spesialsiasi dalam kemampuan-kemampuan tertentu, walaupun ada beberapa persilangan dan interaksi antar
keduanya. Proses berfikir otak kiri bersifat logis, sekuensial, linear dan
rasional (membaca, menulis, simbolisme dsb). Cara berfikir otak kanan bersifat acak tidak teratur, intuitif dan
holistik (perasaan, emosi, perasaan, pengenalan bentuk dan pola, visualisasi
dsb) Jika menurut bentuknya kecerdasan dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :
a. Intelektual (intelegensi) praktis, yakni
intelegensi untuk dapat mengatasi suatu situasi yang sulit yang berlangsung
secara cepat dan tepat
b. Intelektual
(intelegensi) teoritis, yakni intelektual (intelegensi) dalam rangka
mendapatkan pemikiran-pemikiran
penyelesaian masalah dengan cepat dan tepat.
Kecerdasan intelektual dapat dilihat
dari kemampuan seseorang memandang masalah secara ilmiah, logis dan menyususun
rumusan problem solving berdasarkan teori. Hanya saja orang yang cerdas secara
intelektual terkadang terkesan kepada logika yang tidak relevan dengan problem solving itu sendiri. Ia puas dengan
analisa yang masuk akal dan bangga dengan kereterianya kepada kaidah keilmuan.
D.
Kecerdasan
Emosional
Kecerdasan emosional (bahasa Inggris:
emotional quotient, disingkat EQ) adalah kemampuan seseorang untuk menerima,
menilai,mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan oranglain di
sekitarnya.Dalam hal ini, emosi mengacu pada perasaan terhadap informasiakan
suatu hubungan. Sedangkan, kecerdasan
(intelijen) mengacu pada kapasitas untuk memberikan alasan yang valid akan
suatu hubungan.Kecerdasan emosional (EQ) belakangan ini dinilai tidak kalah
penting dengan kecerdasan intelektual (IQ).Sebuah penelitian mengungkapkan
bahwa kecerdasan emosional dua kali lebih penting daripada kecerdasan
intelektual dalam memberikan kontribusi terhadap kesuksesan seseorang.
Menurut Howard Gardner (1983) terdapat
lima pokok utama dari kecerdasan emosional seseorang, yakni mampu menyadari dan
mengelola emosi diri sendiri, memiliki kepekaan terhadap emosi orang lain,
mampu merespon dan bernegosiasi dengan orang lain secara emosional, serta dapat
menggunakan emosi sebagai alat untuk memotivasi diri.
(
http://id.wikipedia.org/wiki/Kecerdasan_emosional )
Pertama kali digagas oleh Danar Zohar
dan Ian Marshall, masing-masing dari Harvard University dan Oxford University.
Dikatakan bahwa kecerdasan spiritual adalah sebagai kecerdasan untuk menghadapi
persoalan makna atau value untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam
konteks makna yang lebih luas dan kaya Kecerdasan ini terletak dalam suatu
titik yang disebut dengan God Spot. Mulai populer pada awal abad 21. Melalui
kepopulerannya yang diangkat oleh Danar Zohar dalam bukunya Spiritual Capital
dan berbagai tulisan seperti The Binding Problem karya Wolf Singer. Gejala
perasaan tergantung pada: Keadaan jasmani, Pembawaan, Keadaan yang dapat
mempengaruhi perkembangannya (Keluarga, Lingkungan social,pendidikan jasmani,
dsb)
Perasaan dapat dibagi dua kelompok
yaitu:
a. Perasaan jasmani atau biologis
(penglihatan, pengecapan, pendengaran dsb).
b. Perasaan rohani
(perasaan ketuhanan, kesusilaan, harga diri dsb)
Kecerdasan Emosional (Perasaan)
„kalbu‟ menjadi pusat kesadaran moral. Ia memilki kemampuan membedakan yang
baik dan yang buruk serta mendorong manusia memilih hal yang baik dan meninggalkan yang buruk. Kecerdasan
emosi ini menekankan tentang bagaimana seseorang mampu menjalin hubungan baik dengan
orang lain, menanamkan rasa empati, juga
bagaimana cara mengalahkan emosi dengan cara memotiasi diri.
“Dan orang-orang
beriman mendapat petunjuk dari Allah melalui hatinya” (QS. At-Taghabun [64]:
11)
Didalam Islam
hal-hal yang berhubungan kecakapan emosi dan spiritual konsistensi (istiqamah),
Kerendahan hati (tawadlu), berusaha dan
berserah diri (tawakal), ketulusan (keikhlasan), totalitas (kaffah),
keseimbangan (tawazun), integritas dan penyempurnaan (ihsan) semua itu
dinamakan akhlakul karimah. Dalam kecerdasan emosi, itulah yang dijadikan
sebagai tolak ikur kecerdasan emosi (EQ) hal ini telah diajarkan oleh
Rasulullah SAW emapat ratus tahun yang lalu. Setidaknya ada 5 unsur yang
membangun kecerdasan emosi, yaitu:
1. Memahami emosi-emosi sendiri
2. Mampu mengelola emosi-emosi sendiri
3. Memotivasi diri sendiri
4. Memahami emosi-emosi orang lain
5. Mampu membina hubungan sosial
Kalbu “Kecerdasan Emosional (Perasaan)”
berkemampuan memberikan jawaban kebajikan ketika seseorang harus memutuskan
sesuatu yang sangat penting. Setiap menyuruh seseorang berbuat kebajikan seperti menyuruh untuk
bersabar, dermawan, bersyukur, ialah kalbunya dan perilaku. Bila seseorang
memilki kalbu yang baik maka ia akan cendrung berbuat positif lebih besar. Kalbu juga mempunyai
untuk berlapang dada. Manusia memilki tingkat kelapangan dada yang
berbeda-beda. Semaikin tinggi tingkat kelapangan dada seseorang, semaikin mampu
ia menerima realitas yang beragam, termasuk yang tidak menyenangkan. Tugas
manusia adalah melakukan upaya agar kelapangan dada yang ada dalam jiwanya erus
bertambah. Cara-cara berlapang dada adalah keimanan yang secara konkrit dapat
ditingkatkan dengan banyak berdzikir
E.
Kecerdasan
Spiritual
Kecerdasan spiritual (bahasa Inggris:
spiritual quotient, disingkat SQ) adalah kecerdasan jiwa yang membantu
seseorang untuk mengembangkan dirinya secara utuh melalui penciptaan
kemungkinan untuk menerapkan nilai-nilai positif.
SQ
merupakan fasilitas yang membantu seseorang untuk mengatasi persoalan dan
berdamai dengan persoalannya itu. Ciri utama dari SQ ini ditunjukkan dengan
kesadaran seseorang untuk menggunakan pengalamannya sebagai bentuk penerapan
nilai dan makna.
Kecerdasan spiritual (SQ) erat kaitannya
dengan keadaan jiwa, batin dan rohani seseorang. Ada yang beranggapan bahwa
kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan tertinggi dari kecerdasan lain
seperti kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emsoional (EQ). Hal ini
dikarenakan ketika orang sudah memiliki kecerdasan spiritual (SQ), orang itu
mampu memaknai kehidupan sehingga dapat hidup dengan penuh kebijaksanaan.
Pengertian kecerdasan spiritual (SQ)
sendiri adalah kemampuan jiwa yang dimiliki seseorang untuk membangun dirinya
secara utuh melalui berbagai kegiatan positif sehingga mampu menyelesaikan
berbagai persoalan dengan melihat makna yang terkandung didalamnya. Orang yang
memiliki kecerdasan spiritual (SQ) akan mampu menyelesaikan permasalahan yang
dihadapinya dengan melihat permasalahan itu dari sisi positifnya sehingga
permasalahan dapat diselesaikan dengan baik dan cenderung melihat suatu masalah
dari maknanya.
Orang melakukan berbagai macam cara agar
bisa memenuhi kebutuhan spiritualnya. Banyak orang yang melakukan kegiatan
sosial seperti menyantuni anak yatim demi memuaskan rohani atau spriritualnya.
Namun tak jarang juga orang melakukan meditasi, yoga maupun dengan melakukan
introspeksi diri sendiri Agar menemukan jati diri dan berubah menjadi pribadi
yang lebih baik sehingga dapat menemukan makna hidup sebenarnya.
Kecerdasan spiritual (SQ) nampak pada
aktivitas sehari-hari, seperti bagaimana cara bertindak, memaknai hidup dan
menjadi orang yang lebih bijaksana dalam segala hal. Memiliki kecerdasan
spiritual (SQ) berarti memiliki kemampuan untuk bersikap fleksibel, mudah
menyesuaikan diri dengan lingkungan, mampu mengambil pelajaran dari setiap
kejadian dalam hidupnya sehingga mampu menjadi orang yang bijaksana dalam
hidup.
Kecerdasan spiritual yang berkembang
dengan baik akan ditandai dengan kemampuan seseorang untuk bersikap fleksibel
dan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan, memiliki tingkat kesadaran yang
tinggi, mampu menghadapi penderitaan dan rasa sakit, mampu mengambil pelajaran
yang berharga dari suatu kegagalan, mampu mewujudkan hidup sesuai dengan visi
dan misi, mampu melihat keterkaitan antara berbagai hal, mandiri, serta pada
akhirnya membuat seseorang mengerti akan makna hidupnya.
Orang yang memiliki kecerdasan spiritual
(SQ) akan cenderung menjadi orang yang bijaksana dengan pembawaan yang tenang,
memandang segala sesuatu dari sisi positif dan mampu menyelesaikan permasalahan
yang dihadapi dengan bijaksana. Orang yang memiliki kecerdasan spiritual (SQ)
cenderung tidak terlalu memikirkan materi, yang menjadi tujuan hidup mereka
adalah bagaimana membuat jiwa dan rohani bahagia dengan selalu berbuat baik
kepada setiap orang.
F.
Manifestasi
Iman dalam Kecerdasan IESQ
Tinggi atau rendahnya IQ seseorang
berhubungan dengan keimanannya. Karena jika seseorang yang memiliki keimanan
yang tinggi maka dapat memberikan kebutuhan mental orang tersebut. Seseorang yang
beriman juga mempunyai kemampuan menalar yang tinggi, merencanakan sesuatu
dengan baik, memecahkan masalah yang ada pada dirinya dan lain-lain. Karena
orang yang beriman memiliki ketenangan, memikirkan masalahnya dan menyerahkan
masalahnya kepada Allah S.W.T
Selain keimanan berdampak pada IQ
seseorang, keimanan juga berkaitan pada kecerdasan emosional seseorang. Hal
tersebut senada dengan pandangan Ary Ginanjar bahwa kecerdasan emosional dan
keimanan semestinya tidak boleh dipisahkan karena kecerdasan emosional yang
tidak dibarengi keimanan akan menyebabkan manusia menjadi sesat dan spekulatif.
Oleh karenanya mengabaikan potensi kecerdasan spiritual, akan membawa masalah
di kemudian hari.
Kecerdasan emosional bawaan bisa
berkembag atau rusak, hal ini tergantung pada pengaruh yang diperoleh anak
dimana kecil atau remaja. Pengaruh ini bisa datang dari orang tua, keluarga
atau sekolah. Anak melalui hidupnya dengan potensi yang baik untuk perkembangan
emosinya, hanya saja pengalaman emosi yang dialaminya di lingkungan anarkis
atau tidak bersahabat menyebabkan grafik perkembangan EQnya menurun.
Sebaliknya, bisa saja seorang anak mempunyai EQ bawaan yang rendah, namun Eqnya
ini bisa berkembang dengan baik, jika ia dididik dengan baik melalui
pengalaman-pengalaman emosional yang ramah dan bersahabat. Perilaku emosi
cerdas yang diperlihatkan lingkungannya menyebabkan grafik Eqya menjadi tinggi.
Jika seseorang yang memiliki keimanan yang tinggi, makan akan memiliki EQ yang
tinggi juga. Karena seseorang yang beriman lebih mampu untuk menahan emosinya.
Seseorang yang beriman memiliki sifat sabar sehingga bisa menetralisir emosinya
dan mengerti emosi orang lain.
Kecerdasan spiritual dapat juga
dikatakan sebagai kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku
dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah dalam upaya
menggapai kualitas hanif dan ikhlas. Pada dasarnya anak dilahirkan dalam keadan
suci, ia memilikikecenderungan dasar pada kebajikan, dimana sadar ataupun
tidak, sebagai manusia seorang anak juga merindukan, tercapainya kebermaknaan
spiritual melalui hubungan dengan yang Maha Kuasa, sehingga jelas bahwa anak
juga membutuhkan pemenuhan kebutuhan spiritualnya agar mampu berkembang menjadi
manusia sempurna. selain itu anak juga dianugerahi akal, agar mampu memahami
dunianya, dan keagungan Tuhan, diberikan hati agar mampu menerima cahaya
kebenaran dan iman, diberikan berbagai nafsu, serta ditiupkan ruh dimana Allah
mengambil kesaksian padanya tentang ke-Esa-an Illahi.
Cara membangun kecerdasan spiritual
serta bagaimana mengaktualisasikannya beradasarkan enam rukun iman dan rukun
Islam. Salah satu rukun Islam yang pertama adalah syahadat. Syahadat berfungsi
sebagai “mission statement”, sedangkan rukun Islam yang kedua adalah puasa.
puasa sebagai “self controlling”, serta zakat dan haji sebagai peningkatan
“sosial intelligence” atau kecerdasan sosial. Islam menuntut penganutnya agar
senantiasa melaksanakan rukun Islam secara konsisten dan kontinyu. Ini
merupakan bentuk training sepanjang hidup manusia. Di sinilah pembentukan dan
pembinaan kecerdasan emosional dan spiritual yang sempurna.
Setelah mental terbentuk, dilanjutkan
dengan langkah-langkah pembentukan “mission statement” melalui dua kalimat
syahadat, kemudian pembangunan karakter melalui shalat lima waktu sehari
semalam, pengendalian diri melalui puasa. Kemudian pembentukan kecerdasan
sosial melalui zakat dan haji. Semua itu merupakan struktur sistem pembinaan
dengan strategi dan metode training yang ideal. Pembinaan kecerdasan
intelektual, emosional dan spiritual secara proses pengaktualisasian potensi
diri manusia secara totalitas. Potensi luhur diri manusia yang bersumber dari
ruh dan fitrah Allah, inilah inti ibadah. Pengaktualisasian potensi ruh
mewujudkan fungsi khalifah dan aktualisasi potensi fitrah mewujudkan fungsi
ibadah. Di mana ibadah dapat menjadikan jiwa menjadi tenang dan tentram dan di
mana aktivitas pendidikan hamba Allah tetap akan menjadi ibadah, bukan malah
sebaliknya menjadi aktivitas yang jauh dari nilai-nilai relegiusitas serta
nilai-nilai keagamaan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Orang yang beriman kepada Allah SWT,
hidupnya selalu beruntung dan tidak akan pernah merugi. Allah menjamin orang
orang yang beriman akan selalu diberi kemudahan didalam menghadapi segala
persoalan dalam hidupnya. Setiap persoalan yang dihadapi orang yang beriman,
Allah akan menunjukkan jalan keluarnya serta mengentasnya dari kesulitan kepada
kemudahan. Jadi jelaslah bahwa Iman merupakan satu satunya jalan kita untuk
lebih dekat dengan Allah.
Allah
SWT berfirman:
“Barang
siapa yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tak ada kekhawatiaran
terhadap mereka dan tidak pula bersedih hati.” (Al An’am 48 ).
Tinggi atau rendahnya keimanan seseorang
berpengaruh pada kecerdasan IESQ nya, semakin tinggi tingkat keiman seseorang
maka semakin tinggi pulan kecerdasana IESQ nya. Seseorang yang memiliki tingkat
keimanan tinggi akan lebih mudah menyelesaikan masalahnya kareana ia bersikap
tenang dan percaya Allah selalu membantunya. Seseorang yang memiliki tingkat
keimanan yang tinggi lebih dapat mengontrol emosinya, lebih memahami emosi
orang lain karena orang yang beriman memiliki sifat sabar seperti yang
diajarkan oleh Islam. Seseorang yang memiliki tingkat keimanan yang tinggi juga
memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi. Karena melaksanakan rukun iman dan
rukun islam merupakan salah satu latihan untuk meningkatkan kecerdasan
spiritual.
DAFTAR
PUSTAKA
Triantoro
safari, spiritual intelegence, (Yogyakarta, graha ilmu, 2007) ,
Labay,
Mawardi, Iman Pengaman Dunia,(jakarta: Al Mawardi Prima,2000)
Sabiq,
Sayid, Aqidah Islam,(Bandung: cv. Diponegoro, 1999)
Yazdi,
Muhammad Taqi Mishbah, Iman Semesta, (jakarta: Al Huda 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar